Malioboro, Ruang Publik yang Otentik
Pagi itu, jalan lengang. Hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Menderu sesaat kemudian hilang. Malioboro sepi di pagi hari kemudian mulai ramai, bersamaan ketika lampu pertokoan dinyalakan.
Jalan
ternyata tidak hanya dapat dimaknai sebagai jalur transportasi. Tempat kendaraan berpacu
melawan waktu. Mengalirkan barang dan manusia dari satu titik ke titik lainnya .
Di beberapa kota, ruas jalan terkadang mempunyai magis tersendiri. Jika Bandung
punya Jalan Asia- Afrika maka Yogyakarta punya Jalan Malioboro.
Malioboro dalam bahasa sansekerta mempunyai arti “Karangan Bunga”. Hal ini dikarenakan jalan Malioboro dulu sering dipakai untuk meletakan karangan bunga saat perayaan hari besar kraton. Namun, fungsinya mulai berubah menjadi jantung kegiatan ekonomi semenjak pasar tradisonal Bringharjo didirikan di kawasan tersebut 250 tahun silam. Lambat laun pertokoan mulai tumbuh subur dan memadati kanan-kiri jalan. Dan kini, Malioboro bukan hanya sekedar sebagai kegiatan ekonomi, namun juga magnet pariwisata sekaligus sebagai salah satu ikon Kota Yogyakarta.
Ruang memang tak ada habisnya jika dimaknai dan ditilik dari berbagai sudut pandang. Semua tergantung bagaimana seseorang melihat dan memanfaatkannya. Termasuk salah satunya kawasan Jalan Malioboro. Bagi sebagian pedagang, Malioboro adalah denyut dari kehidupan. Tempat menjejalkan diri dengan kesibukan demi sesuap nasi.Bagi segelintir orang yang kurang beruntung, Maliboro tak lebih dari sekedar spasi beratapkan bayang-bayang malam. Tempat meringkuk mencari mimipi disaat kesibukan malam mulai menghilang. Dan harus segera pergi disaat pagi, saat toko-toko mulai buka kembali.Bagi para wisatawan lain lagi, Malioboro adalah surga tempat berbelanja memuaskan hasrat hedonisme-nya.
Sedangkan bagi sebagian mahasiswa, Malioboro adalah tempat pilihan dalam melepaskan penat setelah berkutat dengan kegiatan perkuliahan. Menghabiskan malam dengan “nongkrong” di angkringan pinggir jalan bersama teman. Atau sekedar menikmati kesibukan kota di malam hari, memandang ratusan langkah kaki dan pertokoan di sepanjang jalan.
Setidaknya, meskipun ruang dalam kota digempur habis-habisan oleh pembanguan. Malioboro tetap bertahan dengan otenitasnya. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang merasa “memiliki”,terutama bagi penduduk asli.
Bagi para “masyarakat sementara” Malioboro punya arti tersendiri. Tidak hanya sekedar ruang secara fisik (wadah untuk melakukan berbagai aktivitas) semata, namun juga ruang dalam menyimpan cerita. Ruang yang bergelimang nostalgia.
Katanya “ Orang-orang tua itu suka datang kesini sesekali setelah meninggalkannya ribuan hari hanya untuk sekedar membangkitkan kenangan masa lalu”.
Pada akhirnya, entah dengan sengaja direncanakan atau tidak. Malioboro menunjukan bahwa ruang publik yang terbuka bagi semua dan divergen adalah ruang yang paling baik. Ruang yang tidak melupakan nilai sosial masyarakat yang semenjak dulu telah menjadi core sebuah kota.
“Redefinisi Ruang Publik”
Perkembangan teknologi telah menggeser definisi ruang publik. Bukan lagi sebuah ruang yang dibatasi oleh atap, dasar, serta dinding yang membuat orang berhenti, menikmati serta bercengkrama dengan sekitarnya. Ia berubah menjadi hanya sekedar ruang “imajinasi” berakhiran .com atau sejenis aplikasi dalam genggaman. Tentu, semua orang dapat mengaksesnya tanpa harus berkutat dengan kemacetan dijalan, tanpa harus khawatir ketika BBM dinaikan atau bahkan susah-susah mencari tempat kumpul secara gratis bersama rekan. Mereka sudah dapat berinteraksi satu sama lain.
Tidak ada yang salah memang dari urban habitual seperti itu. Namun, perubahan kecenderungan perilaku seperti itu dapat menjadikan kebuthan ruang publik bagi masyarakat kian tidak dianggap urgensi lagi karena mereka dapat mengganti perannya dengan teknologi.
Mall boleh jadi memenuhi kriteria ruang publik menurut Madanipour dalam bukunya “ Public Space and The Challenge of Urban Transformation in Europe” yang didasarkan pada accessabillity dan usability. Asalkan ruang tersebut dapat diakses siapa saja dan mempunyai fungsi yang beragam maka tidak ada salahnya disebut ruang publik. Toh kita juga tidak diwajibkan membeli ketika memasuki Mall.
Akan tetapi, ada sesuatu yang membuatk nilai kepublikan tersebut terasa tidak sah dimata masyarakat. Mungkin hanya sekedar kecanggungan kaum menengah kebawah yang merasa minder jika memasuki bangunan megah. Mungkin ketiadaan interaksi dalam jual beli, tidak seperti di pasar tradisional dimana orang dapat saling tawar. Mungkin keamanan yang ditingkatkan demi menghindari kriminalitas yang tidak diinginkan. Atau mungkin, semua alasan sebenarnya hanya bermuara pada satu hal “Status Kepemilikan”.
Ruang publik memiliki banyak interpretasi saat ini. Berubah karena keadaan, keinginan dan kemajuan peradaban. Namun, ruang publik yang otentik adalah Malioboro, Ia bertahan dengan otenitasnya, ketika yang lain mulai berubah dan mengalami redefinisi.
Malioboro dalam bahasa sansekerta mempunyai arti “Karangan Bunga”. Hal ini dikarenakan jalan Malioboro dulu sering dipakai untuk meletakan karangan bunga saat perayaan hari besar kraton. Namun, fungsinya mulai berubah menjadi jantung kegiatan ekonomi semenjak pasar tradisonal Bringharjo didirikan di kawasan tersebut 250 tahun silam. Lambat laun pertokoan mulai tumbuh subur dan memadati kanan-kiri jalan. Dan kini, Malioboro bukan hanya sekedar sebagai kegiatan ekonomi, namun juga magnet pariwisata sekaligus sebagai salah satu ikon Kota Yogyakarta.
Ruang memang tak ada habisnya jika dimaknai dan ditilik dari berbagai sudut pandang. Semua tergantung bagaimana seseorang melihat dan memanfaatkannya. Termasuk salah satunya kawasan Jalan Malioboro. Bagi sebagian pedagang, Malioboro adalah denyut dari kehidupan. Tempat menjejalkan diri dengan kesibukan demi sesuap nasi.Bagi segelintir orang yang kurang beruntung, Maliboro tak lebih dari sekedar spasi beratapkan bayang-bayang malam. Tempat meringkuk mencari mimipi disaat kesibukan malam mulai menghilang. Dan harus segera pergi disaat pagi, saat toko-toko mulai buka kembali.Bagi para wisatawan lain lagi, Malioboro adalah surga tempat berbelanja memuaskan hasrat hedonisme-nya.
Sedangkan bagi sebagian mahasiswa, Malioboro adalah tempat pilihan dalam melepaskan penat setelah berkutat dengan kegiatan perkuliahan. Menghabiskan malam dengan “nongkrong” di angkringan pinggir jalan bersama teman. Atau sekedar menikmati kesibukan kota di malam hari, memandang ratusan langkah kaki dan pertokoan di sepanjang jalan.
Setidaknya, meskipun ruang dalam kota digempur habis-habisan oleh pembanguan. Malioboro tetap bertahan dengan otenitasnya. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang merasa “memiliki”,terutama bagi penduduk asli.
Bagi para “masyarakat sementara” Malioboro punya arti tersendiri. Tidak hanya sekedar ruang secara fisik (wadah untuk melakukan berbagai aktivitas) semata, namun juga ruang dalam menyimpan cerita. Ruang yang bergelimang nostalgia.
Katanya “ Orang-orang tua itu suka datang kesini sesekali setelah meninggalkannya ribuan hari hanya untuk sekedar membangkitkan kenangan masa lalu”.
Pada akhirnya, entah dengan sengaja direncanakan atau tidak. Malioboro menunjukan bahwa ruang publik yang terbuka bagi semua dan divergen adalah ruang yang paling baik. Ruang yang tidak melupakan nilai sosial masyarakat yang semenjak dulu telah menjadi core sebuah kota.
“Redefinisi Ruang Publik”
Perkembangan teknologi telah menggeser definisi ruang publik. Bukan lagi sebuah ruang yang dibatasi oleh atap, dasar, serta dinding yang membuat orang berhenti, menikmati serta bercengkrama dengan sekitarnya. Ia berubah menjadi hanya sekedar ruang “imajinasi” berakhiran .com atau sejenis aplikasi dalam genggaman. Tentu, semua orang dapat mengaksesnya tanpa harus berkutat dengan kemacetan dijalan, tanpa harus khawatir ketika BBM dinaikan atau bahkan susah-susah mencari tempat kumpul secara gratis bersama rekan. Mereka sudah dapat berinteraksi satu sama lain.
Tidak ada yang salah memang dari urban habitual seperti itu. Namun, perubahan kecenderungan perilaku seperti itu dapat menjadikan kebuthan ruang publik bagi masyarakat kian tidak dianggap urgensi lagi karena mereka dapat mengganti perannya dengan teknologi.
Mall boleh jadi memenuhi kriteria ruang publik menurut Madanipour dalam bukunya “ Public Space and The Challenge of Urban Transformation in Europe” yang didasarkan pada accessabillity dan usability. Asalkan ruang tersebut dapat diakses siapa saja dan mempunyai fungsi yang beragam maka tidak ada salahnya disebut ruang publik. Toh kita juga tidak diwajibkan membeli ketika memasuki Mall.
Akan tetapi, ada sesuatu yang membuatk nilai kepublikan tersebut terasa tidak sah dimata masyarakat. Mungkin hanya sekedar kecanggungan kaum menengah kebawah yang merasa minder jika memasuki bangunan megah. Mungkin ketiadaan interaksi dalam jual beli, tidak seperti di pasar tradisional dimana orang dapat saling tawar. Mungkin keamanan yang ditingkatkan demi menghindari kriminalitas yang tidak diinginkan. Atau mungkin, semua alasan sebenarnya hanya bermuara pada satu hal “Status Kepemilikan”.
Ruang publik memiliki banyak interpretasi saat ini. Berubah karena keadaan, keinginan dan kemajuan peradaban. Namun, ruang publik yang otentik adalah Malioboro, Ia bertahan dengan otenitasnya, ketika yang lain mulai berubah dan mengalami redefinisi.
Sumber Gambar: http://www.easy.com
0 komentar